Penulis: Dhonny Dirghantoro
Penerbit: PT. Grasindo
Jumlah Halaman: 381
Tahun Pertama Terbit: 2005
Buku ini secara garis besar bercerita mengenai persahabatan dan
nasionalisme. Banyak di antara kita yang beranggapan nasionalisme adalah
perkara yang pelik. Melalui 5 Cm, kita diajak “bermain-main” dengan
rasa cinta pada negeri ini secara sederhana melalui kelima sahabat yang
menjadi tokoh utama novel besutan penulis muda, Donny Dirghantoro. Novel
ini dibuka dengan perkenalan masing-masing tokoh yaitu Arial, Zafran,
Genta, Riani dan Ian. Dengan cerdas, sang penulis merekatkan karakter
kuat pada masing-masing tokoh. Hal ini yang membuat 5 Cm unggul dari
novel lain. Jika secara umum pada permulaan novel kita dibiarkan menebak
seperti apa karakter para tokoh, maka di dalam 5 cm, kita tidak
dibiarkan menebak sebab karakter tokoh sudah terbaca kuat di halaman
awal.
Kelima tokoh utama ini telah berada dalam lingkar persahabatan selama
kurang lebih 7 tahun. Hingga suatu saat mereka diliputi kebosanan.
Kehidupan yang monoton membuat mereka berpikir untuk berpisah selama 3
bulan. Dalam masa “berpisah tersebut”, mereka tidak diperkenankan
melakukan komunikasi dalam bentuk apapun. Dalam kurun 3 bulan
tersebutlah, mereka ditempa dengan hal baru. Dengan rasa rindu yang
saling menyilang. Tentang tokoh Riani yang mencintai salah satu
sahabatnya. Tentang Zafran yang merindui adik Arial, sahabatnya sendiri.
Tentang Genta yang memilih mengagumi Riani dengan diam. Dan masih
banyak lagi lainnya. Sampai pada bagian ini, konsep nasionalisme masih
blur.Namun sampai akhir cerita akan terasa konsep nasionalisme di antara 5 sahabat ini.
Sinopsis
Cerita
berawal dari sebuah tongkrongan lima orang yang mengaku “manusia-manusia agak
pinter dan sedikit tolol yang sangat sok tahu” yang sudah kehabisan pokok
bahasan di saat-saat nongkrong sehingga akhirnya cuma bisa ketawa-ketawa.
Mereka adalah Arial, Riani, Zafran, Ian, dan Genta. Arial adalah sosok yang
paling ganteng diantara mereka. Riani pakai kacamata, cantik, cerdas, dan
seorang N-ACH sejati. Zafran seorang penyair yang selalu bimbang. Ian, badannya
gendut subur, kepalanya botak plontos. Genta dianggap “the leader”, dengan badan
agak besar dengan rambut agak lurus berjambul.
Picture
of You-nya The Cure terdengar lembut
dari tape mobil Ian di sepanjang jalan Diponegoro, Menteng. Lima orang di dalam
mobil itu baru aja makan bubur ayam di Cikini. Mereka sepakat, untuk entah
keberapa kalinya, pergi ke rumah Arial. Halaman rumah Arial luas dan asri. Semuanya
teringat, tiga tahunan yang lalu ketika mereka baru berempat dan belum jadi
“Power Rangers”. Tiba-tiba, “Mungkin sebaiknya kita nggak usah ketemu dulu,”
Genta mengalirkan kalimat pendek. “Kita ketemu lagi tanggal 14 Agustus yah,”
Genta meyakinkan teman-temannya. “Pokoknya nanti gue bikin reminder untuk
tanggal 14 Agustus di handphone, tanggal 7 Agustus gue kasih tau planningnya
aja lewat SMS, di mana kita akan ketemuan,” lanjut Genta.
7
Agustus jam 09.00 pagi, Genta mengirim SMS kepada 4 temannya. Selamat pagi
semuanya gw kangeeeen bgt sm kalian semua, sumpah! Tgl 14 agt nanti qta ktm di
stasiun kereta api senen jam 2 siang. Trus kl ada acara dr 14 – 20 Agustus lo
batilin dulu yaa. Please... ini yg hrs dibw kl gak ada minjem ya. Kan ada wkt seminggu:
Carrier. Bajuanget yg bnyk.senter dan batere. Makanan dan snack buat 4 hari....
kacamata item.betadine,obat.sendal sepatu.kl bs mulai hari ini olahraga kecil
kecilan, apalagi buat Ian.gitu aja ya.sampai ktm distasiun senen jam 2. Genta
yg lg kangen.
14
Agustus. Satu lebih tiga puluh lima menit. Siang itu daerah Senen panas sekali.
Di stasiun Senen, Genta dengan bawaannya yang superbanyak, menikmati makan
siang di salah satu restoran Padang di situ. Tiba-tiba sosok Zafran terlihat
oleh Genta dengan carriernya yang gede, baju oranye menyala, celana pendek, dan
kacamata eighties ala Erik Estrada di film CHIPs-membuat Zafran terlihat
nyentrik. Sosok Ian dan Riani penuh senyum berlari kecil memasuki Restoran
Padang. Arial datang dengan membawa adiknya, Dinda.
Pukul
setengah tiga lebih, mereka berenam plus barang bawaan yang mirip rombongan
pecinta alam pun menuju ke kereta yang siap berangkat. Kereta ekonomi MATARMAJA
yang entah sudah berapa tahun melayani trayek Malang-Jakarta pulang pergi ini
tampak begitu tua dan kumuh, dengan kaca-kaca yang sudah pecah. Setelah
membereskan barang bawaan, mereka duduk berenam, berhadap-hadapan. Riani dan
Dinda duduk berhadapan di pojok dekat jendela. Genta di sebelah Riani
berhadapan dengan Arial, dan Zafran di sebalh Arial berhadapan dengan Ian. Lima
menit kemudian kereta pun mulai bergerak meninggalkan Stasiun Senen. Kereta
bergerak perlahan dengan sesekali mengeluarkan angin dari sambungan gerbongnya.
Ian
lalu lancar bercerita tentang jumpalitannya selama dua bulan. Ia yang pantang
menyerah, dua kali penolakan kuisionernya, menakjubkannnya Sukonto Legowo, Mas
Fajar, keriputnya tangan Papa-Mama, sidangnya, pokonya semua Ian ceritakan.
Arial mulai bercerita tentang Indy, wanita yang telah merebut hatinya, Indy
yang tampangnya biasa aja tapi enak dilihat dan nggak bikin bosen. Indy yang
selalu mengisi hari-hari Arial selama ini.
Setengah
malam telah lewat. Kereta tua yang tak kenal lelah itu mulai menyapa kota-kota
di Jawa Tengah, melaju cepat di atas tanah Jawa di malam hari. Jalan desa dan
jalan kota-kota tua yang damai dan sepi. Setengan tiga malam di Stasiun
Lempuyangan, Jogjakarta. Genta, Riani, Zafran, dan Dinda turun dari kereta,
menginjakkan kaki di ubin putih yang mulai kekuningan di stasiun Lempuyangan Jogjakarta.
Mereka berjalan ke toilet stasiun yang ada di antara para pedagan yang masih
mencari rezeki di malam yang terasa lain di hati mereka berempat.
Mereka
berempat segera berjalan masuk ke kereta. Perlahan tapi pasti, kereta mulai
berjalan meninggalkan Stasiun Lempuyangan. Kereta mulai melaju cepat melewati
hutan jati antara Madiun dan Nganjuk. Keenam anak manusia ini pun sudah dari
kantuknya, mulai bercanda lagi di kereta. Pagi di luar sangat cerah seakan
berdatangan menyambut rombongan yang jauh dari rumah ini.
Pukul
setengah tiga lebih mereka tiba di Stasiun Malang. Matahari sore yang sudah
enggan mengeluarkan panasnya datang menyambut. Sebelum meninggalkan kereta,
sekali lagi mereka pandangi kereta yang terdiam lelah setelah berlari seharian
penuh; kereta yang dalam diamnya telah banyak bercerita tentang beragam
manusia. Di stasiun Malang, rombongan pecinta alam itu menarik perhatian banyak
orang. Rasa pegal-pegal belum hilang
benar dari badan mereka sehingga mereka putuskan untuk duduk sebentar di bangku
stasiun yang panjang-meluruskan kaki dan menghilangkan penat.
Matahari
sore masih tersisa sedikit, menembus pepohonan di jalan desa kecil. Sore itu di
Tumpang banyak sekali kesibukan jip-jip menunggu pendaku yang mulai berdatangan
dengan berbagai macam tas carrier besar. Penampilan mereka mirip semua karena
memang mempunyai tujuan yang sama: MAHAMERU.
Mereka
mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan
setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Perjalanan berlanjut menembus-mendaki
pinggir hutan punggung Mahameru.Dari ketinggian pinggiran lereng hutan
Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh
dari langit dan membesar di depan mereka.
Pukul
02.00 malam, dingin di atas tiga ribu meter. Rombongan itu berdiri di depan
tenda. Keenam anak manusia itu tertegun melihat Mahameru dalam gelap malam.
Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap. Puncak
Mahameru seperti sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran batu karang
gunung di mana-mana. Jalur pendakian terlihat terang dipenuhi sinar bulan dan
cahaya senter para pendaki mulai mendaki Mahameru.
Matahari
pagi tujuh belas Agustus pun terbit, sinar matahari yang hangat menyapa badan
dingin mereka. Keenam anak manusia itu seperti melayang saat menjejakkan kaki
di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Waktu seperti terhenti, dataran luas berpasir
itu seperti sebuah papan besar menjulang indah di ketinggian menggapai langit,
di sekeliling mereka tampak langit biru-sebiru-birunya-dengan sinar matahari
yang begitu dekat. Awan putih berkumpul melingkar di bawah mereka di mana-mana,
asap putih tebal yang membubung di depan mereka sekarang terlihat jelas sekali
kepulannya. Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Di depan
barisan tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri dengan latar
belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru.
”…Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kamu. Dan…sehabis itu
yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalar lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih
banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering
melihat ke atas. Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras
dari biasanya serta mulut yang akan selalu berdoa…percaya pada 5 centimeter di depan kening kamu”
kata Zafran dengan penuh yakin.
Sepuluh tahun
kemudian, Minggu pagi di secret garden. Keluarga besar itu berkumpul di
bungalow secret garden. Riani dan Dinda memejamkan matanya. Sekarang mereka
menjadi seorang ibu. Bungalow secret garden hari itu penuh dengan doa, mimpi,
dan keyakinan tulus di hati anak manusia. Semuanya saling pandang dan tersenyum
hangat satu sama lain.
Sebuah Negara Tidak Akan Pernah Kekurangan
Seorang Pemimpin Apabila Anak Mudanya Sering Berpetualang di Hutan,
Gunung dan Lautan.